Merujuk
pada pola pengasuhan anak yang dicontohkan sahabat Ali bin Abi Thalib ra, “7
tahun pertama perlakukan anak seperti raja. 7 tahun kedua perlakukan anak
seperti tawanan, dan 7 tahun ketiga hingga seterusnya perlakukan anak layaknya
rekan/sahabat” maka, usia anak 14 tahun ke atas adalah usia dimana ia sudah
setengah matang, beranjak dewasa, tapi juga masih perlu kasih sayang. Diusia
inilah kebutuhan anak akan sahabat sedang memuncak. Idealnya kitalah selaku
orangtuanya yang menjadi sahabat karibnya. Tempatnya berbagi tawa dan
tangisnya. Kegagalan orang tua menjadi sahabat anak di masa-masa ini rentan
menciptakan celah pada hubungan orang tua-anak hingga jauh ke depannya kelak.
Bab
1 hingga bab 3 dalam buku yang bertajuk “Jadilah Sahabatku,Nak” ini, mengajak
kita menginstropeksi diri selaku orang tua. Sejauh mana usaha kita menjadi
orang tua, bagaimana perlakuan kita pada anak-anak kita, sekaligus
mempertanyakan sudah berhasilkah kita menjadi orang tua. Tentunya keberhasilan
menjadi orang tua itu memiliki parameter yang berbeda untuk masing-masing
keluarga, berbanding lurus dengan harapan kita terhadap anak dan pola
pengasuhan yang kita terapkan.
Sudah
mahfum bahwa sebagian orang tua memilih melimpahkan tanggung jawab pendidikan
dan pengasuhan anak kepada sekolah-sekolah, pengasuh berlisensi, bahkan kepada
neneknya. Seolah tugas utama orang tua semata mencukupi kebutuhan materiil si
anak.
Melimpahkan tanggung
jawab pendidikan anak kepadapihak lain adalah sebuah bentuk tidak bertanggung
jawabnya orang tua. Memang soal pelaku bisa dijalankan orang lain, misalnya
sekolah. Tetapi sekolah hanyalah sebagai sarana. Allah SWT tetap akan meminta
pertanggungjawaban dari orang tua, bukan gurunya. (hal 10)
Terkadang
pula kita sudah merasa benar dalam setiap pola pengasuhan kita, hingga
kegagalan seorang anak untuk menjadi seperti anak yang kita inginkan kita
jadikan sebagai kegagalan sang anak. Bagaimana jika kita sekali-kali
mengevaluasi pola pegasuhan kita sendiri, saat itu tentu kita bisa menjawab
pertanyaan “sudah berhasilkah kita menjadi orang tua?”
Saat itu bisa jadi kita menemukan bahwa
kitalah yang gagal mendengarkan keinginan si anak, kitalah yang terlalu
menuntut anak, atau bisa jadi kita yang kurang mengawasi dan kurang bersabar
terhadap anak kita.
“Betapa banyak orang
tua yang siap menjadi suami atau istri. Tetapi masih banyak yang belum siap
menjadi orang tua” (hal 102)
Setelah
perenungan-perenungan tersebut, bab 4 hingga bab 7 menyediakan beragam solusi
dan tips pengasuhan yang bisa kita terapkan pada anak. Dari beberapa kata
ajaib, bagaimana berkata-kata singkat namun ditaati oleh anak, hingga bagaimana
menjalin persahabatan dengan anak yang sudah menginjak remaja.
Secara
keseluruhan buku ini bermanfaat dan bisa menjadi panduan menemukan letak
masalah hubungan orang tua-anak. Terlebih dengan beragam contoh kasus yang
dijabarkan satu paket dengan solusinya. Hanya saja pemilihan kata yang
cenderung berupa kalimat perintah memberi kesan menggurui yang kuat dan seolah
menjadikan isi buku ini sebagai satu-satunya panduan yang tepat. Sebagaimana
kita ketahui bersama, pola pengasuhan masing-masing keluarga tentu berbeda,
pola pengasuhan A yang berhasil baik diterapkan pada keluarga A tidak berarti
pola pengauhan serupa akan berhasil sama baiknya jika diterapkan pada keluarga
B. Karena karakter anak, orangtuanyalah yang paling tahu bagaimana harus
menghadapinya. Dan yang lebih penting, seberapapun baik dan hebatnya sebuah
pola pengasuhan, tanpa kesabaran orang tua untuk menerapkannya maka tidak akan
dituai hasil yang diharapkan.
Jadi,
mari benahi diri kita dan menjadi orang tua yang lebih baik lagi.
=====================================================
Judul
|
Jadilah
Sahabatku, Nak
|
No.
ISBN
|
978-979-1397-54-4
|
Penulis
|
Farida
Nur 'aini'
|
Penerbit
|
|
Tanggal
terbit
|
Oktober
- 2009
|
Jumlah
Halaman
|
128
hal
|