Cemburu adalah dosa yang
paling rentan dialami perempuan. Uniknya perasaan ini justru tumbuh
saat berinteraksi dengan sesama kaumnya.
Liat saja Moza. Meskipun tampak bahagia - bahagia saja dengan kehidupan pernikahannya, diam - diam Moza menyimpan iri hati yang besar terhadap Neyne, sahabatnya yang masih melajang.
Neyne selalu berkoar - koar tentang enaknya hidup single. Tapi kenapa dia tak bisa menyembunyikan perasaan cemburunya ketika Keira dilamar sang pacar?
Liat saja Moza. Meskipun tampak bahagia - bahagia saja dengan kehidupan pernikahannya, diam - diam Moza menyimpan iri hati yang besar terhadap Neyne, sahabatnya yang masih melajang.
Neyne selalu berkoar - koar tentang enaknya hidup single. Tapi kenapa dia tak bisa menyembunyikan perasaan cemburunya ketika Keira dilamar sang pacar?
Keira lain lagi ceritanya. Dia salut melihat Moza yang begitu kekeuh menjalani tanggung jawab sebagai ibu. Dia sendiri juga pengen punya anak... suatu hari nanti - entah kapan.
Dan ketika belakangan ketiganya dihadapkan kepada situasi yang melibatkan alat kontrasepsi, tiba - tiba rasa cemburu itu terasa tak perlu...
================================================
Judul : Kontrasepsi
Penulis : Eni Martini
Penerbit :Gagas media
Tahun : 2009
ISBN : 979-780-380-5
Membaca novel ini, entah mengapa
aku terngiang-ngiang ucapan salah seorang rekan kerja yang sudah senior : ”Dengan
segala kemudahan zaman sekarang, entah kenapa banyak perempuan itu justru takut
punya anak banyak. Dulu, mana ada diapers, mana ada mesin cuci, mana ada
makanan bayi instant. Sekarang apa sih yang gak ada. Zaman sudah menyediakan
banyak kemudahan dan bantuan untuk meringankan beban seorang ibu. Herannya
orang dulu berani punya banyak anak dan anak-anaknya “hidup” aja tuh, “jadi
orang” juga. Kenapa ibu-ibu sekarang pada sibuk KB???”.
Sebagai catatan, aku bukan obyek
langsung yang menjadi sasaran kalimat-kalimat tersebut, jadi aku hanya
tersenyum-senyum, dan no comment.
Meski dalam hati aku mengiyakan,
sekaligus menjawab : Zaman dulu
kondisi belum semaju saat ini, teknologi
dan arus informasi yang minim membuat anak-anak tumbuh dengan lebih stabil. Coba
zaman sekarang, kemajuan teknologi dan kemudahan arus informasi itu, pisau bermata dua bukan?
Jumlah anak yang banyak juga berpotensi kurangnya pengawasan dan pendampingan
orang tua terhadap tumbuh kembang anak-anak mereka. Tapi, aku juga termasuk
orang yang paham bahwa Rasulullah menyukai jumlah ummatnya yang banyak.
Kontrasepsi bagiku, tidak berarti membatasi jumlah anak. Sekadar mengatur jarak
kelahiran, sehingga tumbuh kembang anak lebih optimal.
Halnya
novel Kontrasepsi ini, memaparkan beragam polemik yang dihadapi 3 wanita
dan pilihan mereka terhadap kontrasepsi dengan gaya lincah tanpa deskripsi bertele-tele. Masing-masing tokohnya
mewakili permasalahan yang biasa terjadi. Dari wanita yang tak siap memiliki
anak, wanita dengan anak lebih dari satu dengan segala kerepotannya,juga wanita
yang mendambakan anak.
Protes-protes terdalam yang
mungkin pernah dirasakan para wanita terkait pasangan mereka, Kekhawatiran bahkan ketakutan seorang wanita yang
lajimnya tak dimengerti kaum pria terpapar dengan seru serta didukung kisah persahabatan yang manis.
Mmm,novel ini sebenarnya novel
ketiga dari Mba Eni Martini yang sudah kubaca. Pertama-tama aku membaca Rainbow, kemudian
bersandarlah dibahuku, dan kali ini kontrasepsi. Aslinya novel-novel ini terbit
dengan urutan terbalik. Kontrasepsi,, bersandarlah dibahuku, dan kemudian
Rainbow. Mengapa urutan ini menjadi penting???
Karena meski lumrahnya karakter
penulis itu lepas dari tulisannya, saya percaya bahwa pandangan hidup seorang
penulis tetap akan terselip dalam setiap karya-karyanya. Menjadi ruh yang
menggerakkan gaya hidup juga karakter-karakter di dalam karyanya. Sekaligus
menentukan bagaimana kisah akan berakhir dan pesan apa yang ingin tersampaikan.
Eni Martini, tampaknya telah
melalui sejumlah pergeseran pandangan hidup dimana hal tersebut termaktub pula dalam
pergeseran gaya hidup tokoh-tokoh dalam novelnya.
Kontrasepsi dan Bersandarlah
dibahuku, mengambarkan dengan lugas kehidupan para wanita urban yang terbiasa
dengan fashion, rokok,wine, clubbing, bahkan freesex. Sebuah gaya hidup yang kini
sudah menjamur namun jelas melangkahi norma-norma ketimuran. Tapi dalam rainbow
pergeseran gaya hidup tokoh-tokohnya cukup signifikan. Terasa lebih sopan dan
agamais. Bahasanya pun tak lagi terasa vulgar. Pun demikian, Penulis tetap setia dengan gaya penuturan dari sudut
perempuan yang khas dengan karakter mandiri dan tegarnya.
Aku suka gaya bertutur Mba Eni,
bab awal yang tidak bertele-tele dengan deskripsi ini itu tapi langsung mengena
pada konflik utamanya. Ketiga novel ini sama-sama memiliki jalinan cerita yang
bergelombang hingga akhir. Menarik hingga akhir.
Penulis juga tampaknya suka mengangkat tema
tentang permasalahan dewasa muda/pasutri baru, dengan konflik yang nyatanya
memang sering terjadi. Sehingga setiap karyanya pada akhirnya selalu memberikan pencerahan bagi pembaca.
Dan menilik ketiga novel ini, aku
bersyukur mengenal Eni Martini yang telah bermetamorfosis menjadi seperti saat
ini. Sehingga beliau akan terus menelurkan karya-karya yang nyaman dibaca namun
tetap sarat dengan kebaikan.
Bukankah demikianlah idealnya
sebuah fiksi,tidak melulu menawarkan mimpi-mimpi.
6 komentar:
wkwkwkwk..keren mba resensinya, hidup memang beralur. melewati itu semua, seperti sebuah ilmu hidup yang indah..makasih
hehehe...begitulah hidup mba. yang penting makin kesini makinbaik ya....tetap semangat mba yu sayang....:)
Kontrasepsi novel pertama mbak Eni yg kubaca, mampir juga di postingan2 terbaruku yuk mbak ---> http://www.riawanielyta.com/search/label/IRC%202014, makasih :)
aku belum pernah baca yang ini, mba sarah
siaap mba Ria ^_^
Ahahay Ila, penasaran ya mau baca??:P
Mba Eni memang semangat banget klo ngomongin soal KB wkwkwk.... sudah bisa membayangkan jalan cerita buku ini :P
Posting Komentar