Sinopsis
Kehidupan pernikahan itu bagaikan roller coaster. Yes? No?
Jungkir balik! Kadang di atas, kadang di bawah. Ada yang menikmati dan tertawa bahagia, ada juga yang tersiksa dan menangis tersedu. Setelah mencobanya, setiap orang punya pilihan masing-masing: ingin terus mencoba atau justru kapok luar biasa.
Bagaimana dengan Audi dan Rafa? Kehidupan urban yang dijalani pasangan ini memberi tantangan lebih pada pernikahan mereka. Bagaimana mencari waktu untuk bersama di tengah kesibukan mereka. Bagaimana mengatur mood setelah semua energi positif hilang di kantor. Bagaimana menahan godaan dari orang yang pernah hadir di masa lalu.
Akankah mereka terus mencoba dan bertahan? Atau justru kapok dan menyerah?
--
Judul : The Marriage Roller
Coaster
Penulis : Nurilla Iryani
Tebal : 206 halaman
Harga : 42.000
Penulis : Nurilla Iryani
Tebal : 206 halaman
Harga : 42.000
Dalam kaca mata subyektifku, aku
punya beberapa standar untuk menyukai bacaan fiksi. Berat ringan suatu bacaan
itu gak ngaruh. Soal hibur menghibur bisa dinegolah ^_^, tapi punya pesan yang
bisa mencerahkan pembaca itu syarat mutlak.
Seperti kata seorang kawan, membaca itu
berarti meluangkan waktu kita, jadi harapannya waktu yang sudah diluangkan itu
gak menjadi sia-sia. Jelas harus ada nilai positif yang bisa merefresh jiwa
pembaca. Entah memperkaya pengetahuan, menginspirasi cara bersikap, atau
mencerahkan pemikiran.
Jadi, bagaimana dengan The
Marriage Roaller Coaster (TMRC) ini???????
Yang jelas aku suka buku ini ^_^.
Dalam 3 kata : ringan, menghibur,
berhikmah.
Alurnya cepat, pemilihan kata pas
dan nyaman. Biasanya aku terganggu dengan penggambaran gaya hidup masyarakat
urban dalam novel sejenis. Tapi novel ini bagiku cukup santun sekaligus tetap
mampu menggambarkan realitas.
Audi si wanita karier, dengan
hobby shoppingnya sebagai pembunuh sepi karena suaminya, Rafa seorang
workaholic.
Membaca kisah Audi-Rafa ini, jadi
mengingatkan bahwa pernikahan itu gak berarti akhir dari sebuah pencarian
cinta. Jangan pernah berpikir di dunia nyata slogan kisah para putri-putri di
dongeng itu berlaku “….dan merekapun hidup bahagia selamanya”.
Menikah dengan orang yang kita
cintai hanyalah berarti bahwa kita memiliki pondasi yang cukup untuk membangun
sebuah istana kebahagiaan. Cinta itu sendiri tentulah perlu dipelihara, bahkan
dipupuk hingga tumbuh subur,dan bersemi dengan indah.
“Mungkin
sekarang aku masih cinta sama kamu, tapi bagaimana cintaku bisa bertahan kalau
kamu bahkan nggak pernah ada buatku? Kata orang,cinta bisa datang karena terbiasa. Bagiku, cinta bisa
hilang karena terbiasa nggak ada.” (hlm. 183)
Adalah Rafa, yang merasa bahwa membahagiakan
pasangan cukup dengan melimpahinya dengan pundi-pundi uang. Untuk segala
kekurangan pengertian, perhatian, waktu, komunikasi, bahkan kasih sayang maka
tugas istrilah yang harus memahami semua itu. Jangan mengeluh, jangan menangis,
jangan membantah. Gak kebayang kalu Rafa ini suamiku, beuuu….*_^.
Sebagai suami yang nyaris gak punya waktu untuk
istrinya, gak pengertian, egois, rasanya lucu juga karena karakter Rafa ini
posesif abiiisss. Biasanya sih orang yang posesif itu selalu ngecek tuh
pasangannya dimana, lagi apa, sama siapa. Nah Rafa ini saking cueknya mana tau
istrinya pulang jam berapa, atau kemana aja. Buat aku karakter Rafa ini jadinya
kompleks. Terlebih ketika ada acara menangis dan berlututnya Rafa saat Audi
berpikir untuk berpisah saja.
Untuk karakter Audi sendiri, aku suka. Wanita
karier yang hampir meraih mimpi tapi rela melepaskan karier demi menuruti suami.
Wanita yang rela mengesampingkan kesenangan-kesenangan pribadi demi janin yang
dikandungnya itu juga Te O Pe banget deh. Aku juga suka cara Audi menghadapi
Yoga, pacar perfect dari masa lalunya itu. Bagian labil-labil dan galaunya itu
masih normallah ^_^.
Meski Yoga menawarkan hari-hari
yang penuh kebahagiaan, no pain, no cry, Audi mampu memahami bahwa
pernikahannya dengan Rafa bukannya berakhir hanya sedang down saja.
”Marriage is like
roller coaster. Ada ups ada downs. (hlm. 175)
“Bukankah
manusia nggak pernah ada puasnya? Aku harus belajar untuk bahagia dengan apa
yang aku punya. Itu kan artinya bersyukur?”
“Dia
memang bikin aku nangis, tapi dia juga yang bias bikin aku bahagia.
Sometimes the one who makes you cry is also the one who can make you smile all
over again.” (hal 200)
Overall, novel ini dengan ringan
berhasil menyuguhkan kisah naik turunnya hubungan pasutri dalam pernikahan.
Tidak hanya layak dibaca para wanita tapi juga para pria. Bagaimanapun kompromi
itu dari dua belah pihak, Jika hanya salah satu pihak yang mengusahakan sebuah
rekonsiliasi maka tak akan pernah ditemukan penyesuaian yang tepat.
Bukankah Kebahagiaan itu saling terkait?
Yes? No? ^_^
3 komentar:
resensinya bagus dik.Kebetulan aku juga sudah beli bukunya. Setuju banget dengan komitmenmu di awal resensi,Harus ada nilai positif, yang bagiku istilahnya membaikkan. Kalau nggak, lebih baik melakukan hal lain bukan?
toooss mba dhani:) makasih udah berkunjung ya.....
aku penasaran banget sama buku ini >.<
Posting Komentar